BOLEH
NGGAK PERCAYA
Bulatan kertas terlempar kesana kemari. Sebagian siswa
kelas X8 yang telah selesai Ulangan Biologi lisan, bergurau dan tak bisa diam.
Pak Dance selaku guru biologi memang sengaja membiarkan mereka. Karena
setiap guru, memiliki cara penilaian tersendiri.
Dewi, Ayu dan Meli telah selesai mengikuti ulangan. Mereka sibuk
ngegosip di lantai bawah deret paling belakang. Puji yang melihat ketiga
rekannya bercanda ikut gabungan.
“Ehm….” Terdengar
suara dari arah belakang.
“Eh Pak Pance, ada apa
ya pak?”
“Kalian ini
bener-bener bandel ya. Masih sok nggak berdosa lagi. Otak kalian itu dimana? Di
dengkul? Kenapa kalian ngegosip di lantai. Kalian sama sekali tidak menghargai
saya!”
Ke empat siswi itu
hanya berpandangan. Sepertinya hal ini memang telah biasa terjadi.
“Maaf Pak, kami
memang salah. Tapi ini kan
bagian dari keaneka ragaman.” Meli mencoba menurunkan darah yang mulai
memuncak.
“Pokoknya kalian
seka…..” Ucapan Pak Pance terhenti. Sepertinya ada sesuatu yang mengenai
kepalanya. Dia lantas menoleh ke belakang.
Guru Biologi asal Medan itu tampaknya sangat
marah. Akibat sebuah bulatan kertas mengenai kepalanya.
Digapainya bulatan
kertas itu. Tertulis beberapa bait kata.
“Nora, I Love U.
Kapan-kapan aku ke rumahmu ya….”
“Hah, tulisan siapa ini?” Pak Pance menggertak. Namun
terlihat sedikit simpul senyum di bibirnya.
Seisi kelas hening
seperti tak ada tanda-tanda kehidupan.
“Baik, kalian semua
sudah keterlaluan. Jangan harap kalian bisa mendapat kan nilai
diatas 7.”
“Nggak adil kan Pak?”
“Yang bilang ini
adil toh sapa?”
“Pak, kalo bapak
bisa menjawab pertanyaan kami, bapak boleh menghukum kami. Tapi sebaliknya,
jika tidak, sanksi yang bapak berikan gagal.”
“Baik. Kalian boleh
Tanya apa saja. Asalkan tentang Bab ini.”
Semua siswa-siswi
X-8 berdiskusi. Nasib mereka dipertaruhkan hanya oleh sebuah tebakan.
“Pak, Animalia apa
yang makan Crinoidea(Lili laut)?”
Dewi mengacungkan jarinya.
“Ya banyak lah,
beberapa hewan laut lainnya bisa makan crinoidea.”
“Hore….bapak
salah….huiii…asyik kita menang….” Beberapa siswa bersorak kegirangan.
“Kalian yang bodoh,
jawaban itu benar!”
“Tentu salah pak,
yang benar…….”
“Animalia yang bisa
makan lilia laut, adalah ayam yang pake baju selam. Bunga lili di pekarangan
rumah saya juga dimakan ayam kok Pak.” Meli menjawab denga penuh keyakinan.
Semua siswa x-8
lantas tertawa serentak. Tapi, guru biologi itu malah mengerutkan keningnya.
Ternyata, seorang doctor jurusan biologi, kalah hanya dengan banyolan
siswa-siswi teledoran.
Pak Pance tak
mengatakan apapun. Dia lantas keluar dari ruang kelas.
Kelas ini memang
kelas unggulan, tapi tidak hanya unggul dalam pelajaran, tapi juga unggul dalam
akal-akalan.
“Ahhhh…” terdengar
suara teriakan dari arah luar kelas. Seluruh siwa keluar dan ingin mengetahui apa
yang telah terjadi.”
Seorang siswa XII IPA
5 terlihat berlari begitu kencang. Di belakangnya seorang wanita setengah baya
menyejarnya.
“Ha…ha… itu kan mak Naimah, orang
gila baru dikampungku.”
“Pantes mukanya
mirip kamu Vi?”
“Heh, emang aku
apanya. Dia bukan apa-apaku. Sorry yee….”
“Huhh… asyik uber,
ayo tangkap!” Teriak bagus keras-keras.
Pemandangan itu
bertambah saat satpam sekolah ikut mengejar Mak Naimah.
“Vi, emang dia gila
karena apa?” Bagus bertanya heran.
“Oh…itu karena dia
ditinggal pergi kekasihnya.
“Kapan?”
“Saat Bapakmu lebih
memilih untuk menikah dengan ibumu.
Huwa..ha..ha..”
“Uh… dasar!”
celoteh Bagus sambil menjitak kepala Evi.
Tapi walau mak
Naimah adalah orang gila baru, wajahnya lumayan cantik. Malah kata orang-orang,
dulu sebelum dia gila, dia mirip Luna Maya. Wah…. Kalah dong Dewi.
Pemandangan semakin
seru. Kali ini, pusat perhatian bertempat di ruang guru.
“Ngintip yuk…” Nora
berlari kecil menuju ruang guru.
Ternyata eh
ternyata, mak Naimah sedang bercuap-cuap dengan Pak Pance. Wah, CLBK nih. Alias Cinta Lama Bersemi
Kembali. Wah… gawat, kiamat sudah
dekat.
Rahasia penting
terbongkar. Ternyata, Pak Pance adalah
mantan kekasih mak Naimah.
“Asyik, ini berita
besar! Besar banget” ungkap Meli.
“Sebesar apa Mel?
Apa sebesar Cintamu pada Pak Pance yang cakep itu?” Dewi menyambung percakapan.
“Enak aja bibirmu
bergerak, maksud gue, berita ini akan menjadi besar sebesar berita perceraian
artiszz. Getoh..”
Dewi melihat ke
arah Meli, emang sih sepertinya meli jadi salah tingkah and jadi kurang
nyambung diajak ngobrol.
Sejenak, hening
terjadi. Suasana benar-benar terfokus pada Pak Pance.
Wah… Pak Pance
nembak mak Naimah!!!
“Apa?? Nggak
Mungkin….!” Meli tersentak kaget. Kok bisa ya.
Aneh, tapi nyata. Percaya nggak percaya, ya harus percaya. Wong untuk percaya, nggak bayar kok. Apa
sulitnya percaya?
“Setidaknya, mak
Naimah sekarang udah nggak gila lagi.”
Evi tersenyum lega.
* * *
MAKNA SEBUAH LUKISAN
Sampailah aku di tanah Rarejo, sebuah desa yang amat
indah dan sejuk di pelosok kota
Semarang . Ku telusuri tepi jalan desa hingga aku
melihat Andi yang duduk bersila di tengah hijaunya ruas-ruas batang padi.
“Andi…” teriakku begitu keras. Andi menoleh dan langsung berlari
kearahku. “Neisya, kau kah itu ?” ucap
Andi begitu girang bertemu kembali denganku.
“Andi, kita ketemu lagi Di. Aku seneng
banget”.
“Maafkan aku Di, aku pernah membuatmu begitu sedih
karena ucapanku”. Air mataku tak kuasa kubendung.
“Neisya, akulah yang salah. Seharusnya aku memang tak pantas memberimu
kado hanya sebuah lukisan yang tak berarti itu.
Seharusnya, aku bisa memberimu lebih dari hanya sebuah lukisan wajahmu!”
“Aku baru menyadari Di, bahwa kau dan lukisanmu itu
begitu berarti bagiku”.
“Neisya, kamu jangan menangis. Kita berpisah bukan karena lukisanku. Tapi karena kita harus melanjutkan sekolah”,
ucap Andi sambil menghapus tetesan air mata di pipiku.
“Tapi kenapa hari ini kamu tidak ke Jakarta ? Kamu lupa kalau hari ini adalah hari
ulang tahunku?”
Andi menunduk sejenak.
“Aku tak punya ongkos Nes. Sawah
ini belum panen. Dan lagi, aku tak punya
apa-apa sebagai kado untukmu di hari ini.
Aku hanya bisa melukis dan menggarap sawah”. Andi lalu duduk di atas tumpukan kerikil.
“Selamat ulang tahun yang ke 16 Nes, semoga kamu selalu
memperoleh apa yang kamu inginkan”.
Wajah Andi begitu murung, dia tak kuasa menatapku.
“Andi, boleh aku minta sesuatu?”
“Apa?”
“Bolehkah aku meminta kembali lukisan yang pernah kau
berikan padaku?”
“Hah…?! Lukisan buatanku itu?”
“Ya, aku ingin lukisan itu menjadi kado Ultahku yang ke
16 ini! Kamu masih menyimpannya kan ?”
“Tentu, akan aku ambilkan”. Andi kemudian langsung berlari ke rumahnya di
seberang jalan. Andi pun kembali dengan
sehelai lukisan wajahku di tangannya.
“Ini, aku senang kau mau menyimpannya kali ini. Mungkin kamu baru tahu Nes, aku membuat
lukisan ini dengan cinta dan sepenuh hati. Meskipun…” ucapan Andi terhenti.
“Meskipun kenapa Di?”
“Meskipun lukisan ini benar-benar tidak mirip kamu!”
“Ha…ha…” Kami tertawa bersama-sama. Inilah kado ulang tahun terbaik yang pernah
ku dapat.
Aku lalu duduk di samping Andi. Tiba-tiba… “Andi, burung-burung itu akan
merusak tanaman padimu!” ucapku sambil menunjuk kearah para burung yang hendak
mendekati tanaman padi Andi.
Andi berusaha mengejar burung-burung itu. Tapi…
“Sialan!” ucap Andi yang tiba-tiba jatuh tersungkur ke
sawahnya yang berlumpur.
“Ha…ha…. Dasar Andi, dari dulu tetap saja ceroboh”.
“Every time, every
where, you always careless!” ucapku sambil tertawa
karena tak tahan melihat wajah Andi yang kotor karena lumpur.
“Mana boleh mentertawakan orang lain! But, this is my style. Dan selalu ada
hikmah di balik kecerobohan.”
“Dasar Andi!” Aku tersenyum. Kubantu dia membersihkan wajahnya yang penuh
lumpur.
“Andi, kamu masih ingat kan , kamu dulu juga pernah jatuh di tempat
yang sama?”
“Tentu saja, kala itu kita masih menjadi pelajar SMA”.
Aku dan Andi bercanda tawa di tengah sawah. Kami mengingat masa lalu saat kami masih duduk
di bangku SMA. Hingga tak terasa hari
Minggu itu telah beranjak sore.
“Neisya, ini sudah sore. Biasanya sebentar lagi akan ada
angkutan umum yang lewat disini. Dan itu angkutan terakhir di hari ini”. Ucapan
Andi kembali membuat hatiku gundah.
“Kenapa hanya sesingkat ini Di?”
“Nes, Semarang-Jakarta itu jauh. Besok kamu kan harus masuk sekolah!”
“Berjanjilah padaku Di, kamu akan datang pada ulang
tahunku yang ke 17, tahun depan !”
“Tidakkah itu terlalu cepat? Bagaimana jika aku ke Jakarta bulan depan saja?”
Andi kemudian tersenyum.
“Kau memang tak pernah berubah”.
“Ya, Aku memang tak akan pernah berubah. Aku akan tetap
sayang pada Neisya, selamanya….” Ucap
Andi sembari menatapku begitu dalam.
“Tet ..tet…”
sebuah angkutan umum yang siap mengantarkanku ke terminal kota , berhenti di pinggir sawah. Dan itulah
tanda aku harus pulang ke Jakarta .
“Aku akan menunggumu di Jakarta!”
“Tentu, kita akan bertemu lagi bulan depan”. Perlahan
genggaman tangan Andi lepas dariku.
Kulangkahkan kaki menaiki Angkutan itu dan kulambaikan
tangan sambil ku peluk lukisan dari Andi.
“Neisya, selamat ulang tahun….!” teriak Andi saat
angkutan yang kutumpangi menjauh darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar